Sedarah – Nafsu Birahi Adik Ipar. “Masak apa Yen?” kataku
sedikit mengejutkan adik iparku, yang saat itu sedang berdiri sambil
memotong-motong tempe kesukaanku di meja dapur. “Ngagetin aja sih, hampir aja
kena tangan nih,” katanya sambil menunjuk ibu jarinya dengan pisau yang
dipegangnya. “Tapi nggak sampe keiris kan?” tanyaku menggoda. “Mbak Ratri mana
Mas, kok nggak sama-sama pulangnya?” tanyanya tanpa menolehku. “Dia lembur,
nanti aku jemput lepas magrib,” jawabku. “Kamu nggak ke kampus?” aku balik bertanya.
“Tadi sebentar, tapi nggak jadi kuliah. Jadinya pulang cepat.” “Aauww,” teriak
Yeyen tiba-tiba sambil memegangi salah satu jarinya. Aku langsung
menghampirinya, dan kulihat memang ada darah menetes dari jari telunjuk
kirinya. “Sini aku bersihin,” kataku sambil membungkusnya dengan serbet yang
aku raih begitu saja dari atas meja makan. Baca cerita porno sedarah selengkapnya hanya
di gairahmalam154.blogspot.com
Yeyen nampak meringis saat aku menetesinya dengan Betadine,
walau lukanya hanya luka irisan kecil saja sebenarnya. Beberapa saat aku
menetesi jarinya itu sambil kubersihkan sisa-sisa darahnya (cerita porno lainnya).
Yeyen nampak terlihat canggung saat tanganku terus membelai-belai jarinya.
“Udah ah Mas,” katanya berusaha menarik jarinya dari genggamanku. Aku pura-pura
tak mendengar, dam masih terus mengusapi jarinya dengan tanganku. Aku kemudian
membimbing dia untuk duduk di kursi meja makan, sambil tanganku tak melepaskan
tangannya. Sedangkan aku berdiri persis di sampingnya. “Udah nggak apa-apa kok
Mas, Makasih ya,” katanya sambil menarik tangannya dari genggamanku. Kali ini
ia berhasil melepaskannya. “Makanya jangan ngelamun dong. Kamu lagi inget Ma si
Novan ya?” godaku sambil menepuk-nepuk lembut pundaknya. “Yee, nggak ada
hubungannya, tau,” jawabnya cepat sambil mencubit punggung lenganku yang masih
berada dipundaknya.
Kami memang akrab, karena umurku dengan dia hanya terpaut 4
tahun saja. Aku saat ini 27 tahun, istriku yang juga kakak dia 25 tahun,
sedangkan adik iparku ini 23 tahun. “Mas boleh tanya nggak. Kalo cowok udah
deket Ma temen cewek barunya, lupa nggak sih Ma pacarnya sendiri?” tanyanya
tiba-tiba sambil menengadahkan mukanya ke arahku yang masih berdiri sejak tadi.
Sambil tanganku tetap meminjat-mijat pelan pundaknya, aku hanya menjawab,
“Tergantung.” “Tergantung apa Mas?” desaknya seperti penasaran. “Tergantung,
kalo si cowok ngerasa temen barunya itu lebih cantik dari pacarnya, ya bisa aja
dia lupa Ma pacarnya,” jawabku sekenanya sambil terkekeh. “Kalo Mas sendiri
gimana? Umpamanya gini, Mas punya temen cewek baru, trus tu cewek ternyata
lebih cantik dari pacar Mas. Mas bisa lupa nggak Ma cewek Mas?” tanya dia.
“Hehe,” aku hanya ketawa kecil aja mendengar pertanyaan itu. “Yee, malah ketawa
sih,” katanya sedikit cemberut. “Ya bisa aja dong. Buktinya sekarang aku deket
Ma kamu, aku lupa deh kalo aku udah punya istri,” jawabku lagi sambil tertawa.
“Hah, awas lho ya. Ntar Yeyen bilangan lho Ma Mbak Ratri,” katanya sambil
menahan tawa. “Gih bilangin aja, emang kamu lebih cantik dari Mbak kamu kok,”
kataku terbahak, sambil tanganku mengelus-ngelus kepalanya. “Huu, Mas nih
ditanya serius malah becanda.” “Lho, aku emang serius kok Yen,” kataku sedikit
berpura-pura serius.
Kini belaian tanganku di rambutnya, sudah berubah sedikit
menjadi semacam remasan-remasan gemas. Dia tiba-tiba berdiri. “Yeyen mo
lanjutin masak lagi nih Mas. Makasih ya dah diobatin,” katanya. Aku hanya
membiarkan saja dia pergi ke arah dapur kembali. Lama aku pandangi dia dari
belakang, sungguh cantik dan sintal banget body dia. Begitu pikirku saat itu.
Aku mendekati dia, kali ini berpura-pura ingin membantu dia. “Sini biar aku
bantu,” kataku sambil meraih beberapa lembar tempe dari tangannya. Yeyen seolah
tak mau dibantu, ia berusaha tak melepaskan tempe dari tangannya. “Udah ah,
nggak usah Mas,” katanya sambil menarik tempe yang sudah aku pegang sebagian.
Saat itu, tanpa kami sadari ternyata cukup lama tangan kami saling menggenggam.
Yeyen nampak ragu untuk menarik tangannya dari genggamanku. Aku melihat mata
dia, dan tanpa sengaja pandangan kami saling bertabrakan. Lama kami saling
berpandangan. Perlahan mukaku kudekatkan ke muka dia. Dia seperti kaget dengan
tingkahku kali ini, tetapi tak berusaha sedikit pun menghindar. Kuraih kepala
dia, dan kutarik sedikit agar lebih mendekat ke mukaku. Hanya hitungan detik
saja, kini bibiku sudah menyentuh bibirnya. “Maafin aku Yen,” bisiku sambil
terus berusaha mengulum bibir adik iparku ini. Yeyen tak menjawab, tak juga
memberi respon atas ciumanku itu. Kucoba terus melumati bibir tipisnya, tetapi
ia belum memberikan respon juga.
Tanganku masih tetap memegang bagian belakang kepala dia,
sambil kutekankan agar mukanya semakin rapat saja dengan mukaku. Sementara
tangaku yang satu, kini mulai kulingkarkan ke pinggulnya dan kupeluk dia.
“Sshh,” Yeyen seperti mulai terbuai dengan jilatan demi jilatan lidahku yang
terus menyentuh dan menciumi bibirnya. Seperti tanpa ia sadari, kini tangan
Yeyen pun sudah melingkar di pinggulku. Dan lumatanku pun sudah mulai direspon
olehnya, walau masih ragu-ragu. “Sshh,” dia mendesah lagi. Mendengar itu,
bibirku semakin ganas saja menjilati bibir Yeyen. Perlahan tapi pasti, kini dia
pun mulai mengimbangi ciumanku itu. Sementara tangaku dengan liar meremas-remas
rambutnya, dan yang satunya mulai meremas-remas pantat sintal adik iparku itu.
“Aahh, mass,” kembali dia mendesah. Mendengar desahan Yeyen, aku seperti
semakin gila saja melumati dan sesekali menarik dan sesekali mengisap-isap
lidahnya. Yeyen semakin terlihat mulai terangsang oleh ciumanku. Ia sesekali
terlihat menggelinjang sambil sesekali juga terdengar mendesah. “Mas, udah ya
Mas,” katanya sambil berusaha menarik wajahnya sedikit menjauh dari wajahku.
Aku menghentikan ciumanku. Kuraih kedua tangannya dan
kubimbing untuk melingkarkannya di leherku. Yeyen tak menolak, dengan sangat
ragu-ragu sekali ia melingkarkannya di leherku. “Yeyen takut Mas,” bisiknya tak
jauh dari ditelingaku. “Takut kenapa, Yen?” kataku setengah berbisik. “Yeyen
nggak mau nyakitin hati Mbak Ratri Mas,” katanya lebih pelan. Aku pandangi mata
dia, ada keseriusan ketika ia mengatakan kalimat terakhir itu. Tapi, sepertinya
aku tak lagi memperdulikan apa yang dia takutkan itu. Kuraih dagunya, dan
kudekatkan lagi bibirku ke bibirnya. Yeyen dengan masih menatapku tajam, tak
berusaha berontak ketika bibir kami mulai bersentuhan kembali. Kucium kembali
dia, dan dia pun perlahan-lahan mulai membalas ciumanku itu. Tanganku mulai
meremas-remas kembali rambutnya. Bahkan, kini semakin turun dan terus turun
hingga berhenti persis di bagian pantatnya. Pantanya hanya terbalut celana
pendek tipis saja saat aku mulai meremas-remasnya dengan nakal. “Aahh, Mas,”
desahnya. Mendengar desahannya, tanganku semakin liar saja memainkan pantat
adik iparku itu. Sementara tangaku yang satunya, masih berusaha mencari-cari
payudaranya dari balik kaos oblongnya. Ah, akhirnya kudapati juga buah dadanya
yang mulai mengeras itu. Dengan posisi kami berdiri seperti itu, batang penisku
yang sudah menegang dari tadi ini, dengan mudah kugesek-gesekan persis di mulut
vaginanya.
Kendati masih sama-sama terhalangi oleh celana kami
masing-masing, tetapi Yeyen sepertinya dapat merasakan sekali tegangnya batang
kemaluanku itu. “Aaooww Mas,” ia hanya berujar seperti itu ketika semakin
kuliarkan gerakan penisku persis di bagian vaginanya. Tanganku kini sudah
memegang bagian belakang celana pendeknya, dan perlahan-lahan mulai kuberanikan
diri untuk mencoba merosotkannya. Yeyen sepertinya tak protes ketika celana
yang ia kenakan semakin kulorotkan. Otakku semakin ngeres saja ketika seluruh
celananya sudah merosot semuanya di lantai. Ia berusaha menaikan salah satu
kakinya untuk melepaskan lingkar celananya yang masih menempel di pergelangan
kakinya. Sementara itu, kami masih terus berpagutan seperti tak mau melepaskan
bibir kami masing-masing. Dengan posisi Yeyen sudah tak bercelana lagi,
gerakan-gerakan tanganku di bagian pantatnya semakin kuliarkan saja.
Ia sesekali menggelinjang saat tanganku meremas-remasnya.
Untuk mempercepat rangsangannya, aku raih salah satu tanganya untuk memegang
batang zakarku kendati masih terhalang oleh celana jeansku. Perlahan tangannya
terus kubimbing untuk membukakan kancing dan kemudian menurunkan resleting celanaku.
Aku sedikit membantu untuk mempermudah gerakan tangannya. Beberapa saat
kemudian, tangannya mulai merosotkan celanaku. Dan oleh tanganku sendiri,
kupercepat melepaskan celana yang kupakai, sekaligus celana dalamnya. Kini,
masih dalam posisi berdiri, kami sudah tak lagi memakai celana. Hanya kemejaku
yang menutupi bagian atas badanku, dan bagian atas tubuh Yeyen pun masih
tertutupi oleh kaosnya. Kami memang tak membuka itu. Tanganku kembali
membimbing tangan Yeyen agar memegangi batang zakarku yang sudah menegang itu.
Kini, dengan leluasa Yeyen mulai memainkan batang zakarku dan mulai
mengocok-ngocoknya perlahan. Ada semacam tegangan tingi yang kurasakan saat ia
mengocok dan sesekali meremas-remas biji pelerku itu. “Oohh,” tanpa sadar aku
mengerang karena nikmatnya diremas-remas seperti itu. “Mas, udah Mas. Yeyen
takut Mas,” katanya sambil sedikit merenggangkan genggamannya di batang
kemaluanku yang sudah sangat menegang itu. “Aahh,” tapi tiba-tiba dia mengerang
sejadinya saat salah satu jariku menyentuh klitorisnya.
Lubang vagina Yeyen sudah sangat basah saat itu. Aku seperti
sudah kerasukan setan, dengan liar kukeluar-masukan salah satu jariku di lubang
vaginanya. “Aaooww, mass, een, naakk..” katanya mulai meracau. Mendengar itu,
birahiku semakin tak terkendali saja. Perlahan kuraih batang kemaluanku dari
genggamannya, dan kuarahkan sedikit demi sedikit ke lubang kemaluan Yeyen yang
sudah sangat basah. “Aaoww, aaouuww,” erangnya panjang saat kepala penisku
kusentuh-sentukan persis di klitorisnya. “Please, jangan dimasukin Mas,” pinta
Yeyen, saat aku mencoba mendorong batang zakarku ke vaginanya. “Nggak Papa Yen,
sebentaar aja,” pintaku sedikit berbisik ditelinganya. “Yeyen takut Mas,”
katanya berbisik sambil tak sedikit pun ia berusaha menjauhkan vaginanya dari
kepala kontolku yang sudah berada persis di mulut guanya. Tangan kiri Yeyen
mulai meremas-remas pantatku, Sementara tangan kanannya seperti tak mau lepas
dari batang kemaluanku itu. Untuk sekedar membuatnya sedikit tenang, aku
sengaja tak langsung memasukan batang kemaluanku. Aku hanya meminta ia
memegangi saja. “Pegang aja Yen,” kataku pelan.
Yeyen yang saat itu sebenarnya sudah terlihat bernafsu sekali,
hanya mengangguk pelan sambil menatapku tajam. Remasan demi remasan jemari
yeyen di batang zakarku, dan sesekali di buah zakarnya, membuatku kelojotan.
“Aku udah gak tahan banget Yen,” bisikku pelan. “Yeyen takut banget Mas,”
katanya sambil mengocok-ngocok lembut kemaluanku itu. “Aahh,” aku hanya
menjawabnya dengan erangan karena nikmatnya dikocok-kocok oleh tangan lembut
adik iparku itu. Kembali kami saling berciuman, sementara tangan kami sibuk
dengan aktivitasnya masing-masing. Saat bersamaan dengan ciuman kami yang
semakin memanas, aku mencoba kembali untuk mengarahkan kepala kontolku ke lubang
vaginanya. Saat ini, Yeyen tak berontak lagi. Kutekan pantat dia agar semakin
maju, dan saat bersamaan juga, tangan Yeyen yang sedang meremas-remas pantatku
perlahan-lahan mulai mendorongnya maju pantatku. “Kita sambil duduk, sayang,”
ajaku sambil membimbing dia ke kursi meja makan tadi. Aku mengambil posisi
duduk sambil merapatkan kedua pahaku.
Sementara Yeyen kududukan di atas kedua pahaku dengan posisi
pahanya mengangkang. Sambil kutarik agar dia benar-benar duduk di pahaku,
tanganku kembali mengarahkan batang kemaluanku yang posisinya tegak berdiri itu
agar pas dengan lubang vagina Yeyen. Ia sepertinya mengerti dengan maksudku,
dengan lembut ia memegang batang kemaluanku sambil berupaya mengepaskan posisi
lubang vaginanya dengan batang kemaluanku. Dan bless, perlahan-lahan batang
kemaluanku menusuk lubang vagina Yeyen. “Aahh, aaooww, mass,” Yeyen mengerang
sambil kelojotan badannya. Kutekan pinggulnya agar dia benar-benar menekan
pantatnya. Dengan demikian, batang kontolku pun akan melesak semuanya masuk ke
lubang vaginanya. “Yeenn,” kataku. “Aooww, ter, russ mass.., aahh..” pantatnya
terus memutar seperti inul sedang ngebor. “Ohh, nik, nikmat banget mass..”
katanya lagi sambil bibirnya melumati mukaku. Hampir seluruh bagian mukanku
saat itu ia jilati. Untuk mengimbangi dia, aku pun menjilati dan mengisap-isap
puting susunya.
Darahku semakin mendidih rasanya saat pantatnya terus
memutar-mutar mengimbangi gerakan naik-turun pantatku. “Mass, Yee, Yeeyeen
mau,” katanya terputus. Aku semakin kencang menaik-turunkan gerakan pantatku.
“Aaooww mass, please mass” erangnya semakin tak karuan. “Yee, Yeyeen mauu, kee,
kkeeluaarr mass,” ia semakin meracau. Namun tiba-tiba, “Krriingg..” “Aaooww,
Mas ada yang datang Mas..” bisik Yeyen sambil tanpa hentinya mengoyang-goyangkan
pantatnya. “Yenn,” suara seseorang memanggil dari luar. “Cepetan buka Yenn, aku
kebelet nih,” suara itu lagi, yang tak lain adalah suara Ratri kakaknya
sekaligus istriku. “Hah, Mbak Ratri Mas,” katanya terperanjat. Yeyen seperti
tersambar petir, ia langsung pucat dan berdiri melompat meraih celana dalam dan
celana pendeknya yang tercecer di lantai dapur. Sementara aku tak lagi bisa
berkata apa-apa, selain secepatnya meraih celana dan memakainya. Sementara itu
suara bel dan teriakan istriku terus memanggil. “Yeenn, tolong dong cepet buka
pintunya. Mbak pengen ke air nih,” teriak istriku dari luar sana. Yeyen yang
terlihat panik sekali, buru-buru memakai kembali celananya, sambil berteriak,
“Sebentarr, sebentar Mbak..” “Mas buruan dipake celananya,” Yeyen masih sempet
menolehku dan mengingatkanku untuk secepatnya memakai celana.
Ia terus berlari ke arah pintu depan, setelah dipastikan
semuanya beres, ia membuka pintu. Aku buru-buru berlari ke arah ruang televisi
dan langsung merebahkan badan di karpet agar terlihat seolah-olah sedang
ketiduran. “Gila,” pikirku. “Huu, lama banget sih buka pintunya? Orang dah
kebelet kayak gini,” gerutu istriku kepada Yeyen sambil terus menyelong ke
kamar mandi. “Iya sori, aku ketiduran Mbak,” kata Yeyen begitu istriku sudah keluar
dari kamar mandi. “Haa, leganyaa,” katanya sambil meraih gelas dan meminum air
yang disodorkan oleh adiknya. “Mas Jeje mana Yen?” “Tuh ketiduran dari tadi
pulang ngantor di situ,” kata Yeyen sambil menunjuk aku yang sedang
berpura-pura tidur di karpet depan televisi. “Ya ampun, Mas kok belum ganti
baju sih?” kata istriku sambil mengoyang-goyangkan tubuhku dengan maksud
membangunkan. “Pindah ke kamar gih Mas,” katanya lagi. Aku berpura-pura
ngucek-ngucek mata, agar kelihatan baru bangun beneran. Aku tak langsung masuk
kamar, tapi menyolong ke dapur mengambil air minum. “Lho katanya pulang ntar
abis magrib, kok baru jam setengah lima udah pulang? Kamu pulang pake apa?”
tanyaku berbasa-basi pada istriku. “Nggak jadi rapatnya Mas. Pake taksi
barusan,” jawab dia. “Lho, kamu lagi masak toh Yen? Kok belum kelar gini dah
ditinggal tidur sih?” kata istriku kepada Yeyen setelah melihat irisan-irisan
tempe berserakan di meja dapur. “Mana berantakan, lagi,” katanya lagi. “Iya
tadi emang lagi mo masak.
Tapi nggak tahan ngantuk. Jadi kutinggal tidur aja deh,” Yeyen
berusaha menjawab sewajarnya sambil senyum-senyum. Sore itu, tanpa mengganti
pakaiannya dulu, akhirnya istrikulah yang melanjutkan masak. Yeyen membantu
seperlunya. Sementara itu, aku hanya cengar-cengir sendiri saja sambil duduk di
kursi yang baru saja kupakai berdua dengan Yeyen bersetubuh, walau belum sempat
mencapai puncaknya. “Waduh, kasihan Yeyen. Dia hampir aja sampai klimaksnya
padahal barusan, eh keburu datang nih mbaknya,” kataku sambil nyengir melihat
mereka berdua yang lagi masak